Selasa, 28 Oktober 2014

Prof. Dr. Wilhelmus Zakaria Johannes

Prof. Dr. Wilhelmus Zakaria Johannes sering juga ditulis dalam ejaan baru Wilhelmus Zakaria Yohannes, lahir di Termanu, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, Indonesia - meninggal di Den Haag, Belanda, 4 September 1952; adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang ditetapkan melalui Keppres No. 6/TK/1968, tanggal 27 Maret 1968



Beliau Seorang Putera Indonesia kelahiran Termanu, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, telah menjadi ahli rontgen pertama Indonesia. Dalam tahun 1941 berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul "Rontegen diagnostiek der maliga langtumoren". dan untuk itu berhak memakai gelar doktor. Prestasi itu dicapainya berkat ketekunan bekerja dan dibantu oleh kecerdasan otaknya. 

Prof. Dr. Wilhelmus Zakaria Johannes sering juga ditulis dalam ejaan baru Prof. Dr. Wilhelmus Zakaria Yohannes, lahir tahun 1895, putera dari seorang guru bantu Sekolah Dasar yang sekaligus merangkap menjadi pengurus gereja. Sebagai anak seorang guru bantu Yohannes tidak berhak menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tetapi kecerdasan otaknya telah menolongnya. Kepala Sekolah Dasar di desa kelahirannya bersama dengan adik iparnya, C. Frans, menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda memohon agar Yohannes diizinkan memasuki Europese Lagere School (ELS). 


Kapal Republik Indonesia (KRI) Wilhelmus Zakaria Johannes (dengan nomor lambung 332) adalah kapal perang perusak eks-kelas Tribal dari Inggris

Permohonan itu dikabulkan. Yohannes menamatkan ELS di Kupang dalam waktu yang lebih singkat dari yang seharusnya. Sesudah itu berangkat ke Jakarta dan memasuki STOVIA (School Tot Opleiding voor Inlandsche Arsten / Sekolah Dokter Bumiputera). Masa pendidikan yang seharusnya sembilan tahun dapat diselesaikannya dalam waktu delapan tahun. Pada tahun 1920 sudah menggondol gelar dokter. Mula-mula bekerja sebagai dosen pada NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School = Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya. Tidak lama kemudian, dalam tahun 1921, diangkat sebagai dokter di rumah sakit Bengkulu. Sesudah itu berturut-turut sampai tahun 1930 bertugas di rumah-rumah sakit di Muara Aman, Mana, Kayu Agung dan Palembang. Dalam tahun 1930, ketika bertugas di Palembang, Yohannes mengalami musibah, diserang penyakit lumpuh. Ia segera dibawa ke Jakarta dan diberikan perawatan khusus di CBZ (sekarang Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo). Satu tahun lamanya Ia dirawat dan setelah sembuh, kaki kanannya pincang untuk selama-lamanya. Masa perawatan di CBZ tidak disia-siakannya. Semangat belajarnya tidak pernah padam. Sambil berbaring di tempat tidur, asyik membaca buku dan mendalami masalah rontgen (sinar tembus). Pada waktu itu pengobatan dengan rontgen belum maju seperti sekarang. Yohannes yakin, bahwa penyakit lumpuh seperti yang dideritanya dapat disembuhkan dengan pengobatan ront gen. Hal itu menyebabkan keahliannya bertambah, sehingga kemudian berhasil meraih gelar doktor. Setelah kesehatannya pulih, walaupun dengan kaki kanan tetap pincang, ia diangkat sebagai Asisten Ahli dalam bidang rontgen dan radiologi di CBZ Jakarta. Bulan Juni 1935 ia dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Pusat di Semarang (sekarang Rumah Sakit Dr. Karyadi). Di tempat yang baru ini ia mengembangkan ilmu rontgen. Untuk memperingati jasanya di bidang pengembangan ilmu rontgen itu, namanya diabadikan pada ruangan Rontgen Rumah Sakit dr. Karyadi. Setahun kemudian ia dipindahkan kembali ke Jakarta dan diangkat sebagai Kepala Bagian Rontgen CBZ. 


perangko thn 1999 Pahlawan Nasional

Kegiatan Yohannes tidak hanya terbatas pada bidang kedokteran. Ia juga mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah airnya. Seperti kebanyakan lulusan STOVIA. Ia pun terjun kedalam kegiatan pergerakan nasional. Sebagai seorang penganut agama Kristen Protestan, maka melalui organisasi agama inilah berjuang. Dalam tahun 1929 golongan Kristen. Protestan mendirikan organisasi yang disebut "Perserikatan Kaum Kristen" (PKK), walaupun organisasi ini mengutamakan dasar kekristenan, tetapi Ia juga bekerjasama dengan organisasi-organisasi lain. Keanggotaan Yohannes dalam PKK menyebabkan kegiatannya bertambah. Serentak dengan itu namanya semakin dikenal oleh masyarakat. Cacat tubuh tidak menjadi halangan baginya untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan kemanusiaan. Dalam tahun 1939 masyarakat Karesidenan Timor (Timor, Flores, Sumba dan Sumbawa) mencalonkan Yohannes sebagai wakil mereka dalam Volksraad (Dewan Rakyat), namun pencalonannya itu ditolak oleh pemerintah. Tiga tahun kemudian Ia terpilih sebagai anggota Badan Pengurus "Organisasi Penolong Ambon-Timur" bersama dr. Kayadu dan Mr. Latuharhary. Sementara itu karirnya dalam bidang kedokteran terus meningkat. Dalam tahun 1939 Ia diangkat menjadi pimpinan bagian radiologi di CBZ, Jakarta, karena dialah satu-satunya dokter Indonesia yang memiliki keahlian di bidang ini. Di zaman Jepang meneruskan kegiatannya dalam organisasi di samping tugasnya sebagai dokter. Bersama dengan dr. Sitanala, Dr. Sam Ratulangi, Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Rufinus Tobing, Ds. B. Probowinoto, Asa, dan lain-lain Ia turut mendirikan "Badan Persiapan Persatuan Kristen" (BPPK). Badan inilah yang kelak menjelma menjadi "Partai Kristen Indonesia" (Parkindo). Parkindo lahir pada tanggal 6 November 1945 setelah diadakan rapat umat Kristen di Balai Pertemuan /Kristen di Jakarta. Rapat itu membicarakan kemungkinan didirikannya sebuah partai, dan dua belas hari kemudian berdirilah "Partai Kristen Nasional" (PKN). Yohannes diangkat menjadi ketuanya. Dalam kongresnya yang pertama pada tanggal 6-7 Desember 1945 di Surabaya, nama partai itu diubah menjadi Partai Kristen Indonesia. Ketuanya yang baru ialah Ds. B. Probowinoto sedangkan Yohannes menduduki jabatan wakil ketua. Pengaruh Yohannes dalam Parkindo cukup besar.

Ia seringkali bertindak mengadakan pergantian pengurus cabang. Selain Parkindo, dibentuk pula sebuah organisasi perjuangan, yakni "Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil" (GRISK). Tujuan GRISK ialah menggalang persatuan penduduk Sunda Kecil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Rumah Dr. Yohannes di Jalan Kramat Raya 51 Jakarta menjadi kantor pusat GRISK dan sekaligus menjadi markas persembunyian para pemuda pejuang daerah Kramat Pulo. Tindakan itu mengandung resiko. Rumah itu dan Dr. Yohannes pribadi tidak luput dari incaran musuh. Beberapa kali terpaksa berhadapan dengan serdadu Belanda dan Gurkha. Hari Natal 1945 sepasukan serdadu Gurkha datang ke rumahnya dalam keadaan siap tempur. Mereka mencari pemuda-pemuda yang sering mengganggu patroli Gurkha. Yohannes diperintah keluar dari rumah, tetapi perintah itu tidak diindahkannya. Komandan pasukan Gurkha mengambil tindakan kekerasan. Dr. Yohannes digiring ke pos Gurkha. Selama empat jam dihukum jongkok. Hukuman itu cukup berat bagi seorang yang kakinya pincang. Tetapi Yohannes tidak mengeluh dan setelah hukuman itu berakhir, langsung berangkat ke rumah sakit melaksanakan tugasnya. Pada waktu yang lain harus pula berhadapan dengan pasukan Belanda. Waktu itu seluruh daerah Kramat sudah dikuasai NICA (Belanda), kecuali rumah Yohannes. Rumah itu tetap mengibarkan bendera Merah Putih. Beberapa kali serdadu Belanda datang dan memerintahkan agar bendera itu diturunkan, tetapi Dr. Yohannes berhasil mempertahankannya. Suatu kali sepasukan KNIL datang dan seorang anggotanya langsung merobek bendera Merah Putih sehingga koyak dua. Bagian merahnya diambil oleh serdadu yang merobeknya dijadikan ikat kepala, sedangkan bagian putihnya dibuang di tanah.

Sesudah pasukan itu pergi, Yohannes berkata seorang diri, "Karena bukan saya yang menurunkan, nanti saya naikkan kembali". Beberapa saat kemudian bendera Merah Putih berkibar kembali di halaman rumahnya. Sebagai seorang republikan tetap setia kepada perjuangan. Pemerintah mengangkatnya menjadi anggota BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai wakil gabungan Kristen. Rumah Sakit CBZ dijadikan tempat penampungan orang-orang Republik ketika seluruh Jakarta sudah dikuasai Belanda. Usahanya itu berhasil sampai terjadinya Agresi Militer II Belanda 19 Desember 1948. Ketika CBZ diambil alih oleh Belanda dan diserahkan kepada pimpinan dr. J. E. Karamoy, kurang lebih 50 orang pegawai rumah sakit yang tetap setia kepada RI ditampung dirumah Yohannes. Dokter Karamoy adalah teman baik Yohannes. Ia tidak menyetujui tindakan Karamoy yang memihak Belanda. Kepada Karamoy dikatakannya, "Kami sebagai dokter-dokter bangsa Indonesia menganggap hal ini sebagai tikaman dari belakang terhadap kawan-kawan sendiri. Kami tidak akan melupakannya". Belanda cukup memahami kamampuan Yohannes sebagai dokter yang pengaruhnya amat besar terhadap karyawan-karyawan di CBZ. Karena itu Belanda berusaha menarik Yohannes ke pihak mereka. Untuk itu Belanda mendatangkan Prof, van der Plaats, bekas guru besar Yohannes. Ia mengatakan, bahwa Pemerintah Belanda akan memberi pangkat yang tinggi dan gaji yang besar jika Yohannes bersedia bekerjasama dengan Belanda. Yohannes menolak, malahan secara terang-terangan mengajak rekan-rekannya agar mereka berjuang untuk kepentingan RI. Bersama-sama rekan-rekannya membentuk "Yayasan Bhakti Mulia" yang melayani dan merawat rakyat. Yayasan ini sekaligus mengumpulkan dana untuk perjuangan. Sejak tahun 1936 membina karir dibidang pendidikan, khususnya pendidikan kedokteran. Ia ikut memberi kuliah pada Fakultas Kedokteran. Karir itu dipeliharanya sampai Indonesia merdeka. Dalam tahun 1946 diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Balai Perguruan Tinggi Indo­nesia (sekarang Universitas Indonesia). Sesudah itu diangkat menjadi Dekan Fakultas tersebut. Ketika Jakarta sudah sepenuhnya dikuasai oleh Belanda, Balai Perguruan Tinggi diungsikan ke Yogyakarta dan Sala. Tetapi beberapa orang Guru Besar tetap bertahan dan tetap memberikan kuliah di Jakarta. Salah seorang diantaranya ialah Prof. Dr. W. Z. Yohannes. Kuliah tidak dapat diberikan diruangan kuliah, tetapi dirumah dosen. Mahasiswanya juga tidak banyak, sebab sebagian ikut mengungsi dan sebagian lagi berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Sesudah pengakuan kedaulatan, Universitas Indonesia diaktifkan kembali. Selangkah demi selangkah diadakan perbaikan. Tenaga pengajar dicari yang berpengalaman. Pada bulan Maret 1952 Prof. Dr. Yohannes diangkat menjadi pejabat Presiden (sekarang Rektor) Universitas Indonesia menggantikan Ir. Surakhman. Beberapa orang dosen dikirim ke luar negeri untuk menambah pengalaman dan pengetahuan mereka. 


Yohannes sendiri berangkat pula ke luar negeri dalam bulan April 1952. la mendapat tugas selama lima bulan, untuk mempelajari perkembangan rontgen dan organisasi Rumah Sakit di Negeri Belanda, Swiss, Perancis, Jerman Barat, Inggris dan negara-negara Skandinavia serta Timur Tengah dan Asia Tenggara. Sebetulnya pada saat itu kurang sehat. Selain pincang, juga menderita penyakit jantung. Di Negeri Belanda bertugas di Rumah Sakit Bronovo di Den Haag, Belanda. Belum lama melaksanakan tugas, mendapat serangan jantung dengan mendadak. Dalam perjalanan dari rumah menuju ke Rumah Sakit, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Musibah itu terjadi pada tanggal 4 September 1952. Jenazahnya di istirahatkan selama satu bulan di Den Haag dan kemudian diangkut dengan kapal Mojokerto dari Rotterdam ke Jakarta. Jenazahnya lalu dikebumikan di pekuburan Jati Petamburan, Jakarta. Hingga wafatnya Prof. Dr. W. Z. Yohannes tidak pernah menikah. Ia pernah menjalin cinta dengan Roos van Tjaarden, seorang wanita Belanda, namun ibunya tidak menyetujui perkawinan anaknya dengan wanita asing. Demi kasih dan bakti kepada ibunya, Dr. Yohannes memutuskan hubungan dengan kekasihnya tersebut. Dalam suratnya terakhir kepada Nona Roos van Tjaarden, beliau menyatakan tidak mungkin menjadi warga Negara Belanda. Pemerintah RI menghargai jasa-jasa yang telah disumbangkan Prof. Dr. W. Z. Yohannes kepada bangsa dan negaranya. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 06/TK/1968, tanggal 27 Maret 1968 Pemerintah RI menganugerahi Prof. Dr. W. Z. Yohannes gelar Pahlawan Kemerdekaan. Penghargaan lain yang diterimanya dari Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (sekarang P dan K) pada tahun 1969 adalah penetapan Prof. Dr. W. Z. Yohannes sebagai “Karyawan Anumerta dibidang Pendidikan dan Pengetahuan". Namanya diabadikan pula pada nama Rumah Sakit Umum di Kupang.

Rabu, 20 Agustus 2014

Sejarah Terbunuhnya Foe Mbura di Termanu

peta Rote zaman VOC abad 17

Sekitar bulan Oktober 1746 telah terjadi sebuah peristiwa di Namodale (sekarang Feapopi), Termanu yang dalam dokumen-dokumen VOC lebih dikenal dengan Peristiwa Meulenbeek. Peristiwa ini dikenang kemudian dalam tuturan lisan orang Rote sebagai perisitiwa terbunuhnya Raja nusak Thie, Foe Mbura yang adalah Raja Rote yang dibaptiskan dengan nama Benjamin Messakh pada tahun 1729. [i]
Pemicu dari peristiwa ini adalah tur rutin opperhoofd VOC Jan Anthony Meulenbeek di berbagai nusak di pulau itu pada bulan itu. Menurut Hans Hagerdaal, peristiwa ini layak diselidiki secara lebih mendetail karena dua hal: pertama, karena peristiwa ini masih dipelihara secara baik dalam tradisi lisan Rote dan itu menunjukkan bahwa garis-garis konflik tradisional dan Eropa bisa menjadi kabur.
Meulenbeek yang baru bertugas pada tahun 1944 menggantikan opperhoofd Christiaan Fredrik Brandenburg (bertugas Oktober 1740-1744) ini kurang diplomatis dan popular jika dinilai dari dokumen-dokumen VOC pada waktu itu.[ii] Dengan menggunakan tipuan ia menangkap tiga pemimpin pemberomtak dari nusak Landu yang dirundung konflik, dan mengirimkan mereka ke Termanu, sekutu dan andalan Belanda pada waktu itu.
Ketika para tawanan ini melarikan diri, Meulenbeek marah dan mencambuk  raja Termanu, Fola Sinlae. Ia mengancam akan membakar Termanu jika penduduk setempat tidak mengembalikan para tahanan itu. Meulenbeek, dengan 36 orang Belanda dan Mardijkers memerintahkan para petugas artileri untuk mengambil meriam dari kapal dan membawanya ke dalam pagar batu VOC di Termanu. Dia juga memerintahkan Fola Sinlae untuk mencari para buronan, meskipun Fola Sinlae telah memperingatkan bahwa jika ia tidak ada untuk menenangkan amarah  para penduduk bisa terjadi masalah.

Menurut cerita penduduk setempat, di sinilah terjadi 
pertikaian antara VOC dan orang-orang Termanu 
yang menyebabkan tertembaknya Foe Mbura (Benjamin Messakh).
 [foto by: Matheos Messakh]

Bersama dengan Meulenbeek waktu itu adalah Benjamin Messak, raja Kristen Thie, yang bermusuhan dengan Termanu dan mungkin akan dengan senang hati melihat Termanu terbakar. Di Rote ada kebencian yang meluas terhadap Termanu, yang diduga menggunakan kedekatannya dengan VOC untuk menekan nusak lainnya.
Hari berikutnya opperhoofd melanjutkan untuk menangkap dua pemimpin pemberontak itu. Ia kemudian masuk ke rumah seorang perempuan bangsawan, janda dari mantan manek, Ndaomanu, yang konon memiliki hiasan dada emas. Dia menelanjangi perempuan itu dan mempertontonkannya di depan orang banyak. Janda yang sangat dihormati ini lalu bertanya kepada orang-orang banyak apakah mereka masih mentolerir perilaku ini.
Manek dari nusak Dengka, yang mendampingi Meulenbeek, menyadari bahwa ini hanya akan menyebabkan lebih banyak masalah dan lalu berusaha untuk menenangkan orang Eropa keras kepala ini. Orang-orang mulai kerumunan di dekat mereka, dan beberapa orang berteriak mengutuk Meulenbeek. Seorang kopral menghunus pedangnya dan mulai mengarahkannya ke kerumunan itu. Meulenbeek sendiri mengokang pistolnya, namun manek dari Dengka menghantam lengannya sehingga tembakannya melayang ke udara. Ketika para budak Meulenbeek yang melihat hal ini mereka juga menembak ke kerumunan massa, tetapi waktu itu, banyak orang Termanu sudah memiliki senapan, dan mereka balas menembak. Opperhoofd dan seluruh anak buahnya mundur ke arah pagar batu. Laporan resmi tentang  insiden ini layak untuk dikutip secara penuh:
 
"Istri opperhoofd memberi perintah kepada penjaga untuk melepaskan dua temukung yang telah ditangkap. Dia meminta mereka untuk tidak marah tentang apa yang telah terjadi karena suaminya gila, dan meminta mereka (kedua temukung itu) untuk memastikan bahwa orang-orang kami [Belanda] tidak diapa-apakan. Keduanya menjanjikan hal itu. Temukung dari Oenale masih ragu-ragu untuk pergi tanpa persetujuan dari sang opperhoofd. Dalam situasi ini, semua mengambil untuk minum sampai benar-benar mabuk. Sepanjang sore itu semua mereka (selain Opperhoofd) tergeletak di sana-sini di tanah, meskipun raja Thie saat itu telah tertembak mati di dalam pagar batu tersebut.
Kuburan Foe Mbura di Lekik, kecamatan Lobalain.
Menurut tradisi lisan, sebagian potongan tubuhnya (Rote: baa. secara literer berarti paru-paru) dibawa oleh raja Baa Tou Dengga Lilo dikuburkan di sini. 
Sampai sekarang nusak Baa dan nusak Thie tidak punya batas yang pasti karena persahabatan Foe Mbura dan Tou Dengga Lilo.
Opa yang berdiri dkt kuburan itu adalah Rafael Ndun (86 tahun) yang telah mendengar cerita ini dari pdt Arnoldus. 
Kuburan ini tepat di belakang rumah opa Rafael Ndun.

Menjelang malam opperhoofd mengutus bendaharawan Gonst untuk keluar melihat apa yang mungkin bisa dilakukan. Segera setelah ia keluar ia ditangkap, dilucuti dan diikat. Meulenbeek kemudian mengibarkan bendera putih dan meminta belas kasihan, menawarkan emas dan budak. Namun para orang Termanu sebaliknya menuntut agar Raja Thie harus diserahkan kepada mereka, dan berjanji akan berdamai dengan mereka [orang Belanda]. Mayat Foe Mbura dilemparkan keluar pagar dan kemudian dicincang-cincang oleh orang Termanu.
Namun, karena [Termanu] tidak puas dengan itu, dan tidak ada tawaran yang diterima, sang opperhoofd melucuti anak buahnya dan mengunci senjata dalam peti. Kemudian mereka bersama-sama mulai minum lagi, sampai dengan malam mereka sekali lagi terjaga dan sadar. Para prajurit dan Mardijkers meminta Meulenbeek untuk mengembalikan senjata mereka sehingga mereka bisa mencoba untuk menerobos kerumunan, sehingga mereka bisa pergi naik kapal lagi. Istrinya memintanya untuk menunjukkan belas kasihan pada dirinya. Jika ia sendiri tidak akan setuju dengan permintaan itu, [maka setidaknya] para laki-laki diizinkan untuk menyelamatkannya dan membawanya ke atas kapal. Namun, Yang Mulia benar-benar menolak untuk menyerahkan senjata. Ia berkata kepada istrinya yang kurang beruntung bahwa di mana ia tinggal, sang istripun harus tetap bersamanya, tanpa mempedulikan air mata dan tangisnya.
Namun ia berjanji bahwa ia akan berdamai dengan orang-orang Termanu keesokkan harinya.  Mereka akan diberikan emas sebanyak yang mereka inginkan, dan dengan itu semua masalah akan selesai. Di pagi harinya, Yang Mulia mengambil semua emasnya dan istrinya bahkan mengambil emasbeugeltas-nya dan menyerahkannya kepada [kepala] Edon di luar pagar.
[Orang-orang Termanu] berjanji, melalui Edon, bahwa mereka akan berbaikan lagi dan segera mengirimkan air dan beras (yang sangat diperlukan pihak  Belanda). Beberapa saat setelah dia menarik diri, orang-orang kita [Belanda] diserang sekali lagi. Saat pagar itu ditembus, beberapa orang tertembak dan terbunuh. Sementara itu, sang opperhoofd, masuk ke  dalam rumah, membakar rumah itu (bukan karena takut, kata mereka), sehingga mereka yang tidak terlalu mabuk berdiri dan melarikan diri – selain nyonya Meulenbeek yang tidak pernah keluar dan tinggal menjadi abu. Suaminya berlari kelaur seperti orang gila, diserang, berakibat pada beberapa luka [mematikan].
Demikian juga, seluruh rakyat dan raja Lole semua meninggal, selain seorang prajurit, seorang wanita bebas dan tiga orang Mardijkers. Mereka diikat dan disiapkan oleh Edon dan Patola untuk disembelih, dalam rangka memperagakan pemali mereka atau pemujaan satanis untuk menegaskan sumpah yang telah dibuat, untuk menyerahkan diri mereka kepada Portugis dan menjaga agar Compeni Yang Mulia keluar dari Rote selamanya. Para prajurit artileri (yang sementara itu telah kembali dari Thie) ditetapkan [dikutuk] untuk disembelih di depan raja Landu, yang bendaharawan Gonst disembelih di depan raja Bilba, dan sang tentara di depan Ringgou. [Orang Termanu] kemudian mengirimkan utusan kepada para raja ini untuk meminta persetujuan mereka akan hal ini.[iii]"

Kemarahan terhadap Belanda kemudian memunculkan sebuah deklarasi penuh hikmat untuk bergabung dengan Portugal, sebuah entitas yang sebelumnya Termanu telah mempunyai sedikit kontak.
Orang Rote mengalami dua penguasa asing yang akan secara langsung saling berlawanan, di mana penolakan terhadap yang satu berarti berarti kepatuhan terhadap yang lainnya. Tak satupun pengobanan manusia yang tekah direncanakan – jika itu bukan hanya merupakan produk dari imajinasi orang Belanda – diperbolehkan oleh Fola Sinlae, dan para survivor yang ketakutan selamat berlayar kembali ke Kupang.

Pohon Asam di mana bagian tubuh Foe Mbura digantung sebelum dikubur. Menurut tradisi lisan, raja Baa Tou Dengga Lilo menggantungkan bagian tubuh itu di pohon ini, namun malamnya ia bermimpi didatangi Foe Mbura yg berkata kpdnya: ‘jika engkau hanya menggantungkan aku di sini, sekali kelak jika pohon itu mati, anak cucuku tak bisa menemukanku.’ keesokkan harinya bagian tubuh itu dikuburkan di temat yang sekarang dipercaya sbg pusara Foe Mbura. 
[foto: Matheos Messakh]

Ketika berita tentang bencana Rote mencapai Batavia, Pemerintah Tertinggi Belanda menyimpulkan bahwa satu-satunya penyebab bencana itu adalah Meulenbeek sendiri. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan sebuah balas dendam yang brutal terhadap Rote jika mereka bertobat (Schooneveld-Oosterling 1997:653). Termanupun tidak bertobat. Termanu dan sejumlah nusak lainnya selajutnya aktif menentang Compeni dan memperoleh amunisi dan prajurit dari Gaspar da Costa. Salah satu pejuang perlawanan tersebut adalah janda Ndaomanu, yang memendam kebencian yang besar terhadap orang-orang Eropa yang pernah menggulingkan suaminya dan kemudian menghinanya. Hal ini bertepatan dengan kebenciannya terhadap Fola Sinlae yang pro-Belanda, yang telah menolak untuk menikahinya setelah kematian suaminya yang adalah saudara Fola Sinlae.[iv] 
Keterangan
[i] Ayah Foe Mbura, Poura Messa, adalah raja Rote pertama yang menjadi Kristen di tahun 1729, namun dia meninggal segera setelah pembaptisannya karena ada wabah cacar di Rote. Foe Mbura kemudian menggantikan ayahnya. Lihat Fox, James J., Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia. hal. 177-182. Dalam buku cacatan baptis di Arsip Nasional RI yang mencakup rentang waktu 1669-1732, seorang bernama Benjamin dari Thie dibaptiskan pada 26 Mei 1720, dia adalah anak dari Poira Messe (Mbura Messakh) raja Thie. Ibu dari Benjamin ini bernama Dolloe, seorang perempuan non Kristen. Saksi baptisan itu adalah Amos Pietersz Thenoe, seorang Ambon dan murid dari Francois Valentijn) dan Cornelia Claasz.

[ii] Hagerdal, Hans, Lord of the Land, Lord of the Sea: Conflict and Adaptation in Early Colonial Timor 1600-1800. Hal. 357. KITLV Press, Leiden, 2012.

[iii]  VOC 8341 (1748). Ff. 18-22. Cerita ini dikisahkan dari kesaksian beberapa saksi, oleh Opperhoofd berikutnya Daniel van der Burgh. Sebuah versi yang agak berbeda bisa ditemukan di De Roo van Alderwerelt 1904: 197.

[iv] VOC 8342 (1749), ff. 66-73.


 sumber: http://lakamola.wordpress.com/2012/09/05/terbunuhnya-foe-mbura/

Selasa, 19 Agustus 2014

Sejarah Pembentukan Kabupaten Rote Ndao



Wilayah Rote Ndao semula adalah merupakan bagian dari Wilayah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Kupang yang dibentuk berdasarkan Undang - Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah - Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah - daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1655).
Selanjutnya sebagai pelaksanaan dari Undang - Undang tersebut, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur masing-masing :
Nomor Pem.66/1/2, tanggal 28 Pebruari 1962 dan Nomor Pem.66/1/22, tanggal 5 Juni 1962, maka wilayah Rote Ndao dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah Pemerintahan Kecamatan yaitu :
  • Kecamatan Rote Timur dengan pusat Pemerintahan di Eahun
  • Kecamatan Rote Tengah dengan pusat Pemerintahan di Baa
  • Kecamatan Rote Barat dengan pusat Pemerintahan di Oelaba.
Kemudian pada tahun 1963 sesuai dengan tingkat perkembangan yang ada, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor Pem.66/1/32, tanggal 20 Juli 1963 tentang Pemekaran Kecamatan maka Wilayah Pemerintahan yang berada di Rote Ndao dimekarkan menjadi 4 (empat) Wilayah Kecamatan yaitu :
  • Kecamatan Rote Timur beribu kota di Eahun
  • Kecamatan Rote Tengah beribu kota di Baa
  • Kecamatan Rote Barat beribu kota di Busalangga
  • Kecamatan Rote Selatan beribu kota di Batutua
Selanjutnya setelah berjalan 4 (empat) tahun lamanya, maka terjadilah pemekaran wilayah di Rote Ndao menjadi 8 (Delapan) Kecamatan, sehubungan dengan adanya keinginan masyarakat untuk membentuk Kabupaten Otonom bagi Rote Ndao maka untuk untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan yaitu satu Daerah Kabupaten paling sedikit harus didukung oleh 6 (enam) buah Kecamatan Administratif, maka 4 (empat) Kecamatan yang telah ada di Pulau Rote Ndao dibagi menjadi 6 (Enam) Kecamatan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor Pem.66/1/44 tanggal 1 Juli 1967 dan Keputusan Nomor Pem.66/2/71, tanggal 17 Juli 1967 yakni :
  • Kecamatan Rote Timur dengan pusat Pemerintahan di Eahun
  • Kecamatan Pantai Baru dengan pusat Pemerintahan di Olafulihaa
  • Kecamatan Rote Tengah dengan pusat Pemerintahan di Feapopi
  • Kecamatan Lobalain dengan pusat Pemerintahan di Baa
  • Kecamatan Rote Barat Laut dengan pusat Pemerintahan di Busalangga
  • Kecamatan Rote Barat Daya dengan pusat Pemerintahan di Batutua.
Berhubung situasi keuangan Negara tidak memungkinkan sehingga pembentukan Kabupaten Otonom Rote Ndao belum dapat dilakukan, maka sebagai jalan keluar untuk memenuhi tuntutan keinginan masyarakat, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur mengeluarkan Surat Keputusan Nomor Pem.66/2/4, tanggal 11 April 1968 agar wilayah Rote Ndao dibentuk sebagai Wilayah Koordinator Schap dalam wilayah hukum Kabupaten Daerah Tingkat II Kupang dan menunjuk Bapak D.C. Saudale, sebagai Bupati di perbantukan di Wilayah Koordinator Schap Rote Ndao dengan Keputusan Guberur Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor Pem. 66/2/21, tanggal 1 Juli 1968.
Sesuai perkembangan di bidang pemerintahan, maka pada tahun 1979 terjadi perubahan status Wilayah Koordinator Schap Rote Ndao menjadi wilayah pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao, berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 25 tahun 1979 tanggal 15 Maret 1979, tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao, yang telah disahkan pula oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Menteri Dalam Nomor 061.341.63-114 tertanggal 8 April 1980.
Adapun para pejabat yang memimpin di Wilayah Koordinator Schap Rote Ndao maupun di Wilayah Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao adalah sebagai berikut :
  • Periode 1968-1974 adalah D. C. Saudale - Koordinator Schap Rote Ndao
  • Periode 1974-1977 adalah DRS. R. Chandra Hasyim - Koordinator Schap Rote Ndao
  • Periode 1977-1984 adalah DRS. G. Th. Hermanus - Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao
  • Periode 1984 - 1988 adalah DRS. G. Bait - Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
  • Periode 1988 - 1994 adalah Drs. R. Izaac - Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
  • Periode 1994 - 2001 adalah Benyamin Messakh, BA - Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao
  • Periode 2003 - 2008 adalah Christian Nehemia Dillak, SH - Bupati Rote Ndao
  • Periode 2008 - 2018 adalah Drs. Leonard Haning, MM - Bupati Rote Ndao
Sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat maka dalam tahun 2000 timbulnya keinginan kuat dari masyarakat Rote Ndao baik yang berada di Wilayah Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao maupun dukungan dari orang Rote yang berada di Kupang dan di Jakarta mengusulkan agar Wilayah Pemerintahan Pembantu Bupati Rote Ndao ditingkatkan menjadi Kabupaten definitif. Usulan tersebut didukung dengan adanya pernyataan sikap dari 300 Tokoh masyarakat, Tokoh adat mewakili masyarakat dari 19 Nusak kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, melalui Pemerintah Kabupaten Kupang (sebagai Kabupaten Induk).
Atas dasar usulan tersebut maka setelah melalui pengkajian dan mekanisme pembahasan sesuai Peraturan Perundang - undangan yang berlaku maka pada tanggal 10 April 2002 oleh Pemerintah Pusat dan DPR - RI menetapkan Undang - Undang Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Rote Ndao di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dan pada tahun 2012 Kabupaten Rote Ndao sudah memiliki 10 Kecamatan :
  • Kecamatan Rote Timur dengan pusat Pemerintahan di Eahun
  • Kecamatan Pantai Baru dengan pusat Pemerintahan di Olafulihaa
  • Kecamatan Rote Tengah dengan pusat Pemerintahan di Feapopi
  • Kecamatan Lobalain dengan pusat Pemerintahan di Baa
  • Kecamatan Rote Barat Laut dengan pusat Pemerintahan di Busalangga
  • Kecamatan Rote Barat Daya dengan pusat Pemerintahan di Batutua.
  • Kecamatan Rote Selatan dengan pusat Pemerintahan di Daleholu.
  • Kecamatan Rote Barat dengan pusat Pemerintahan di Nemberala.

Arti Logo



Keputusan BUPATI ROTE NDAO Nomor : 49 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Rote Ndao Nomor : 4 Tahun 2003 tentang Lambang Kabupaten Rote Ndao
  1. Lambang daerah berbentuk perisai
  2. Ukuran perisai
    • Lebar gambar perisai = 17,5 cm
    • Tinggi garis tengah = 21
    • Jari-jari lekuk atas ( kiri-kanan) = 4
    • Jari-jari garis lengkung bawah = 11,3
  3. Diameter gambar bintang = 3.3
  4. Diameter gambar padi dan kapas = 14.5
  5. Lebar gambar padi dan kapas = 1.8 dan 2
  6. Diameter gambar rantai = 9
  7. Lebar tiap-tiap mata rantai = 0.8
  8. Lebar gambar Ti’I Langga = 4,5
  9. Tinggi gambar Ti’I Langga = 4,5
  10. Ukuran Pita Pengikat
    • Lebar pita = 1.2
    • Panjang Pita pengikat = 10.5
  11. Tinggi Huruf tulisan Rote Ndao = 0.5
  12. Tinggi angka 2002 = 0.7
  13. Diameter tulisan ITA ESA = 3.5
  14. Tinggi tulisan ITA ESA = 0.4
Tata Warna Lambang Daerah :
  • Dasar : Biru
  • Tepi Perisai : Hitam
  • Bintang Segi Lima : Kuning emas
  • Padi : Orange
  • Bunga Kapas : Putih
  • Kelopak dan Batang Kapas : Hijau
  • Pita Pengikat Padi dan Kapas : Merah / Putih
  • Tulisan Rote Ndao : Hitam
  • Rantai : Hitam
  • Warna Dasar Rantai : Coklat
  • Lukisan Ti’I Langga : Kuning
  • Tulisan 2002 : Hitam
  • Tulisan ITA ESA : Putih
Makna Tulisan :
  • Perisai : Melambangkan Pertahanan rakyat dalam membela kepentingan daerah, bangsa dan Negara.
  • Bintang Sudut Lima : Melambangkan Kabupaten Rote Ndao tetap berlandaskan pada Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
  • Padi dan Kapas : Melambangkan bahwa Kabupaten Rote Ndao bertekat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat.
  • Padi 10 butir dan kapas 4 buah : Melambangkan tanggal 10 bulan 4 ( april ) terbentuknya Kabupaten Rote Ndao sebagai daerah Otonomi
  • Pita Warna Merah Putih pengikat tangkai padi dan kapasa yang bertuliskan “ Rote Ndao “ : Melambangkan bahwa dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Rote Ndao berada dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Rantai yang berjumlah 19 : Melambangkan ikatan persatuan dan kesatuan yang kokoh dari 19 nusak dalam membangun Kabupaten Rote Ndao.
  • Lukisan Ti’I Langga sebagai alat dan nilai budaya : Melammbangkan Pemimpin dan kepemimpinan yang berfungsi sebagai pamong atau pelindung bagi masyarakat Rote Ndao menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan keimaman dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  • ITA ESA Tulisan “ ITA ESA “ atau Kita satu : Melambangkan masyarakat Rote Ndao satu dalam keberagaman dan selalu dijiwai dengan tekad dan semangat menunjang nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan.
Makna Warna Melambangkan sifat-sifat :
  • Warna Kuning : Keagungan , Kebenaran, Kebesaran Jiwa dan semangat juang yang tinggi
  • Warna Coklat : Kesedarhanaan melambangkan daratan yang potensial
  • Warna Hijau : Kedamaian, kesuburan dan kesegaran
  • Warna Merah : Keberanian
  • Warna Putih : Kesucian yang bersih tanpa pamrih Warna Hitam : Keteguhan, kekekalan
  • Warna Orange : Keadilan, ketulusan
  • Warna Biru : Kekuatan, ketenangan melambangkan lautan yang potensial

Kabupaten Rote Ndao


Peta lokasi Kabupaten Rote Ndao
Koordinat: 10
o 25' - 11o LS, dan 121o 49' - 123o26' BT


Kabupaten Rote Ndao adalah sebuah kabupaten di Provinsi Nusa tenggara timur indonesia. Merupakan kabupaten paling selatan di Republik Indonesia. Ibukota kabupaten ini terletak di Baa. Kabupaten in memiliki luas wilayah 1.731 km² dan berpenduduk sebanyak 76.352 jiwa pada tahun 2000 dan 119.408 jiwa pada tahun 2010 dengan kepadatan 68,98 jiwa/km2
Kabupaten ini pada awalnya terdiri atas 6 kecamatan namun telah mengalami pemekaran sehingga sekarang sudah terdapat 8 kecamatan, pada tahun 2012 terjadi pemekaran wilayah sehingga menjadi 10 Kecamatan yaitu:
  1. Rote Timur
  2. Landu Leko
  3. Pantai Baru
  4. Rote Tengah
  5. Rote Selatan
  6. Lobalain
  7. Rote Barat Laut
  8. Rote Barat Daya
  9. Rote Barat
  10. Ndao Nuse

Batas Wilayah
  • Utara berbatasan dengan Laut Sawu
  • Timur berbatasan dengan Selat Pukuafu
  • Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia
  • Barat berbatasan dengan Laut Sawu
Pulau-pulau sekitar
Kabupaten Rote Ndao memiliki luas wilayah 1280,10 km2. Dari 96 pulau yang ada di Kabupaten Rote Ndao, hanya 6 pulau yang berpenghuni, yaitu:
  • Pulau Rote dengan luas 97.854 Ha;
  • Pulau Usu dengan luas 1.940 Ha;
  • Pulau Nuse dengan luas 566 Ha;
  • Pulau Ndao engan luas 863 Ha;
  • Pulau Landu dengan luas 643 Ha; dan
  • Pulau Do'o dengan luas 192 Ha.